Memahami Makna filosofis Busana Adat Bali

profile

Memahami Makna filosofis Busana Adat Bali

Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi kehidupan manusia, mulai dari cara berpikir, prilaku, hingga mempengaruhi sosial budaya salah satunya dalam menggunakan busana adat Bali.  Pemerintah Provinsi Bali melalui Pergub Nomor. 79 Tahun 2018 mengenai Penggunaan Busana Adat Bali. Ini adalah langkah cerdas pemerintah Bali dalam upaya menjaga kelestarian budaya bali mengkhusus pada penggunaan Busana Adat Bali. Namun dalam pelaksanaannya cenderung banyak terjadi penyalahgunaan, masyarakat cenderung tidak paham penggunaan Busana Adat Bali yang baik dan benar, maka dari itu dalam Blog ini kami Kader Pelestari Budaya Kabupaten Gianyar membagikan Informasi terkait dengan Memahami Makna filosofis Busana Adat.

Sejak dahulu hingga sekarang busana adat Bali selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya dalam menggunakan busana adat Bali terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku.

Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi sebenarnya secara logika, kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah. Lalu mengapa harus berbusana? pakaian itu diciptakan dengan tujuan untuk menutupi badan, dan baju merupakan salah satu bagian dari alat upacara. Manusia menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih memahami ajaran agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara (swastika). Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri dari:

1.      Dewa Angga : dari leher ke kepala

2.      Manusa angga : dari atas pusar sampai leher

3.      Butha Angga : dari pusar sampai bawah


Pada saat manusia tidak berbusana adat, tubuh manusia masih suci, belum dibagi-bagi menurut konsep Tri Angga berlaku. Konsep ini baru terbentuk ketika manusia sudah berbusana adat. Sebenarnya tidak ada lontar-lontar yang menunjukkan tentang busana adat Bali. Secara umum busana adat Bali dibagi tiga yaitu:


1.      Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk persembahyangan (busana adat yang belum lengkap)

2.       Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara filosofis sudah lengkap)

3.      Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan/pawiwahan (lengkap secara aksesoris)


Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke Pura tersebut.


1.      Busana adat ke Pura untuk putra

a.       Kamen (Wastra) 

               Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai simbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan.

b.         Saput (Kampuh)

   Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan keangkuhan atau menunjukkan diri kuat, yang berarti harus dikendalikan, karena pada dasarnya ketika menghadap Tuhan harus rendah hari dan berserah diri. Untuk menutup keangkuhan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar. Saput digunakan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).

c.       Selendang (Umpal)

Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai simbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma.

d.      Baju (Kwaca)

Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura, kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti.

e.       Udeng (destar)

Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yaitu, udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), dan udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai simbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri simbol Dewa Brahma, yang kanan simbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu. Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta.

udeng bali

Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tapi ada tambahan penutup kepala yang berarti simbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai simbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi

 

image.png 76.67 KB

2. Busana Adat Kepura Untuk Putri

a.       Kamen (wastra)

Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih pendek.

b.      Bulang & Selendang (Senteng)

Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma.

c.    Baju (Kebaya)

Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama seperti baju pada putra.

d.      Hiasan Rambut 

             Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut. Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum, ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang masih  lajang (belum menikah)  sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih calon pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai simbol keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti.Yang kedua adalah pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala atau pusung kekupu. Biasanya dipakai oleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Dewa Tri Murti.

Nah, itulah ulasan mengenai Memahami Makna Filosofi Busana Adat Bali mengkhusus pada busana Adat kepura. Mari kita lestarikan adat dan budaya kita dengan membagikan hal – hal positf untuk kita dan anak cucu kita.